Walau pelaksanaan eksekusi atas sembilan terpidana mati kasus narkotika merupakan bagian dari kedaulatan hukum Indonesia, tetap ada pertanyaan yang mengemukakan atas rencana tersebut.
"Persoalannya adalah apakah hukum tersebut sudah sesuai dengan prinsip hak asasi manusia mengingat Indonesia adalah peserta ICCPR atau Kovenan Internasional untuk Hak-hak Sipil dan Politik?" kata Direktur Eksekutif lembaga Human Rights Working Group, Rafendi Djamin.
Rafendi merujuk pada Pasal 6 ICCPR yang mengatur hak seseorang untuk mendapatkan pengadilan yang jujur, termasuk jika seseorang terancam hukuman mati.
"Untuk menghindari pencabutan nyawa yang tidak bisa dikembalikan lagi akibat salah hukum, harus ada pengadilan yang jujur dari mulai penangkapan. Misalnya, harus ada penerjemah yang kompeten, pengacara yang kredibel, dan lain-lain. Masalahnya, ini yang di Indonesia banyak bolong-bolongnya."
Dan Rafendi mengatakan beberapa hal yang dipertanyakan antara lain adalah terkait Mary Jane Veloso yang hanya bisa berbahasa Tagalog, namun disediakan penerjemah yang berbahasa Inggris di persidangan.
Demikian pula dengan terpidana Rodrigo Gularte yang mengidap gangguan jiwa.
Ditentang sebagian masyarakat
Sementara itu sejumlah kalangan warga Indonesia mengungkapkan penentangan atas rencana sembilan terpidana.
Mereka menggalang sebuah petisi di laman Change.org -yang mewadahi beragam tuntutan masyarakat- yang meminta Presiden Jokowi membatalkan hukuman mati terpidana narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso.
Lalu ada juga petisi untuk mengampuni terpidana mati asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, serta petisi untuk warga Brasil, Rodrigo Gularte, yang menderita gangguan jiwa.
Desma Murni dari laman Change.org mengatakan petisi pembebasan Mary Jane Veloso mendapat tanggapan positif dari pengguna internet di Indonesia.
"Presiden, aku memilihmu untuk HAM. Tolong jangan bunuh korban perdagangan manusia. Selamatkan #MaryJane!" demikian judul petisi yang dibuat Ruli Manurung tersebut.
Hingga Senin (27/04) malam, petisi telah ditandatangani lebih dari 10.000 kali.
Kepada BBC Indonesia, Ruli mengaku tergerak untuk membuat petisi karena 'merasa ada ketidakadilan' terhadap Mary Jane, buruh migran yang menjadi korban sindikat perdagangan narkotika.
"Dia menjadi kurir tanpa sepengetahuannya dan ditipu dengan iming-iming pekerjaan palsu, dibekali heroin secara sembunyi-sembunyi, dan diarahkan pergi ke Indonesia."
Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang dijuluki duo ‘Bali Nine’ diketahui telah mengajukan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan, melalui laman daring MK tampak sidang dijadwalkan berlangsung pada 12 Mei mendatang, pukul 15.00 WIB.
"Jadwal sidang perkara nomor 56 pada 12 Mei sebagaimana tertera pada laman Mahkamah Konstitusi," sebut Leonard Arpan Aritonang, selaku salah seorang pengacara Chan dan Sukumaran.
Meski demikian, Jaksa Agung HM Prasetyo mengatakan eksekusi tetap akan berlangsung.
"Sidang uji materi tidak akan membatalkan putusan yang sudah ada. Kedua, menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, orang asing tidak punya posisi hukum dalam mengajukan uji materi. Apa pun putusannya, itu berlaku untuk ke depan. Eksekusi tetap berjalan," kata Jaksa Agung HM Prasetyo dalam wawancara dengan BBC Indonesia.
Ketika ditanya soal waktu pelaksanaan eksekusi, Prasetyo mengelak.
"Semua terpidana mati sudah menjalani penahanan di ruang isolasi di Nusakambangan, sedangkan isolasi diberlakukan tiga hari sebelum eksekusi dilakukan. Jadi, saya pikir Anda bisa memperkirakan sendiri," katanya.
Pernyataan tersebut menimbulkan beragam spekulasi mengingat kesembilan terpidana mati telah ditempatkan di ruang isolasi pada akhir pekan lalu.
Namun, Prasetyo bersikeras tidak mau menyebutkan tanggal dan jam pelaksanaan eksekusi.
"Yang pasti, segala persiapan teknis sudah 100%. Semua petugas sudah di sana, semua terpidana mati sudah di sana, isolasi sudah dilaksanakan. Tinggal kita pencet tombolnya saja," ujar Prasetyo.
sumber dari : BBC indonesia.com